Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Perang Diponegoro menempati tempat istimewa sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan Kolonial. Ini tidak hanya melibatkan kekuatan senjata, tetapi juga ideologi, keyakinan spiritual, dan semangat untuk mempertahankan martabat serta hak atas tanah leluhur. Perang ini berlangsung selama lima Tahun dan membawa dampak besar pada Masyarakat Jawa dan pemerintah kolonial Belanda.
Dalam rentang waktu, Perang
Diponegoro berlangsung antara Tahun 1825
sampai tahun 1830. Perang ini merupakan salah satu episode paling dramatis
dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Perang
ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam latar belakangnya, Pangeran Diponegoro,
lahir dengan nama Raden Mas Muntahar. Pangeran
Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia adalah putra
Sultan Hamengkubuwono III. Meskipun Pangeran Diponegoro adalah putra sulung sang
sultan, ia tidak serta merta diangkat sebagai putra mahkota. Hal ini disebabkan
karena ibunya bukanlah seorang permaisuri. Pangeran Diponegoro tumbuh dengan
pendidikan agama yang kuat dan dikenal sebagai sosok yang religius serta dekat
dengan rakyat.
Ketegangan perang ini dilatarbelakangi
oleh pemerintah kolonial Belanda yang semakin campur tangan dalam urusan internal Kesultanan Yogyakarta dan juga
kondisi masyarakat Jawa yang semakin
berada di bawah tekanan kolonial yang kian menguat. Kebijakan pemerintah Hindia
Belanda terkait dengan sistem pajak yang mencekik. Hal ini menciptakan ketidakpuasan
yang semakin meluas. Puncaknya terjadi pada tahun 1825 ketika Belanda memasang
patok-patok jalan di tanah leluhur Diponegoro di Tegalrego tanpa izin, yang
dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat dan kedaulatan lokal. Pada tahun
1825, setelah upaya mediasi gagal, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk memulai
perlawanan. Ia meninggalkan Tegalrejo
dan mengobarkan perang melawan Belanda dengan seruan jihad dan pembelaan terhadap rakyat
tertindas.
Jalannya
Perang
Pada 20 Juli 1825, pasukan
Belanda mengepung kediaman Diponegoro di Tegalrejo dan Pangeran Diponegoro
berhasil meloloskan diri dari kepungan itu. Setelah berhasil kabur dari Tegalrejo, ia langsung memproklamasikan perang
sabil, sebuah jihad melawan penjajah. Setelah memproklamasikan perang tersebut,
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat
termasuk petani, ulama, dan bangsawan yang tidak puas dengan kebijakan kolonial.
Dengan menggunakan strategi
gerilya dan memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan pertempuran lokal, pasukan perang Pangeran
Diponegoro mulai menyerang pos-pos Belanda secara tiba-tiba. Perang ini
kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, mencakup daerah seperti Begelen, Kedu, dan Banyumas.
Perang ini melibatkan sekitar 200.000 orang yang berada di pihak Pangeran
Diponegoro.
Pada awalnya Belanda
meremehkan kekuatan Diponegoro namun setelah mengalami kerugian besar akibat
dari perang tersebut, belanda akhirnya menerapkan strategi Benteng Stelsel,
yaitu strategi untuk membangun benteng-benteng kecil yang saling terhubung
untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Selain itu, Belanda juga
berusaha memecah belah kekuatan Diponegoro dengan menawarkan amnesti kepada para
pengikutnya. Amesti sendiri adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala
negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana
tertentu.
Akhir
Perang dan Dampaknya
Setelah lima tahun
pertempuran sengit antara Pangeran Diponegoro dan Kolonial Belanda, pada 28 Maret
1830, Pangeran Diponegoro ditangkap melalui tipu muslihat. Ia diundang untuk
berunding di Magelang oleh Jenderal De Kock. Kemudian ia ditangkap dan diasingkan
ke Manado. Setelah diasingkan, ia dipindahkan ke Makassar sampai akhir hayatnya.
Pangeran Diponegoro wafat pada tanggal 8
Januari 1855, meninggalkan pasangannya, Raden Ayu Retnaningsih, istri-istrinya
yang lain, serta anak-anaknya.
Peperangan in menyebabkan kerugian besar di kedua belah
pihak. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang tewas dari berbagai kalangan
termasuk penduduk sipil. Perekonomian di Jawa pun menjadi terguncang, dan Belanda
menghabiskan dana yang cukup besar untuk menumpas perlawanan yang dilakukan
oleh Pangeran Diponegoro. Walaupun berakhir dengan kekalahan, semangat
perjuangan Diponegoro menginspirasi generasi berikutnya dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Referensi
- Carey, P. B. R. (2008). The Power of
Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855.
Leiden: KITLV Press.
- Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern
Indonesia since c.1200. Stanford University Press.
- De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. (1985). Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies.
Comments