Skip to main content

Sejarah Singkat Perang Diponegoro (1825 - 1830)

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Perang Diponegoro menempati tempat istimewa sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan Kolonial. Ini tidak hanya melibatkan kekuatan senjata, tetapi juga ideologi, keyakinan spiritual, dan semangat untuk mempertahankan martabat serta hak atas tanah leluhur. Perang ini berlangsung selama lima Tahun dan membawa dampak besar pada Masyarakat Jawa dan pemerintah kolonial Belanda.



Dalam rentang waktu, Perang Diponegoro berlangsung  antara Tahun 1825 sampai tahun 1830. Perang ini merupakan salah satu episode paling dramatis dalam sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dalam latar belakangnya, Pangeran Diponegoro, lahir  dengan nama Raden Mas Muntahar. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia adalah putra Sultan Hamengkubuwono III. Meskipun Pangeran Diponegoro adalah putra sulung sang sultan, ia tidak serta merta diangkat sebagai putra mahkota. Hal ini disebabkan karena ibunya bukanlah seorang permaisuri. Pangeran Diponegoro tumbuh dengan pendidikan agama yang kuat dan dikenal sebagai sosok yang religius serta dekat dengan rakyat.

Ketegangan perang ini dilatarbelakangi oleh pemerintah kolonial Belanda yang semakin campur tangan dalam  urusan internal Kesultanan Yogyakarta dan juga  kondisi masyarakat Jawa yang semakin berada di bawah tekanan kolonial yang kian menguat. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terkait dengan sistem pajak yang mencekik. Hal ini menciptakan ketidakpuasan yang semakin meluas. Puncaknya terjadi pada tahun 1825 ketika Belanda memasang patok-patok jalan di tanah leluhur Diponegoro di Tegalrego tanpa izin, yang dianggap sebagai penghinaan terhadap martabat dan kedaulatan lokal. Pada tahun 1825, setelah upaya mediasi gagal, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk memulai  perlawanan. Ia meninggalkan Tegalrejo dan mengobarkan perang melawan Belanda dengan  seruan jihad dan pembelaan terhadap rakyat tertindas.

Jalannya Perang

Pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda mengepung kediaman Diponegoro di Tegalrejo dan Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan diri dari kepungan itu. Setelah berhasil kabur dari  Tegalrejo, ia langsung memproklamasikan perang sabil, sebuah jihad melawan penjajah. Setelah memproklamasikan perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapat dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat termasuk petani, ulama, dan bangsawan yang tidak puas dengan kebijakan kolonial.

Dengan menggunakan strategi gerilya dan memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan  pertempuran lokal, pasukan perang Pangeran Diponegoro mulai menyerang pos-pos Belanda secara tiba-tiba. Perang ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, mencakup  daerah seperti Begelen, Kedu, dan Banyumas. Perang ini melibatkan sekitar 200.000 orang yang berada di pihak Pangeran Diponegoro.

Pada awalnya Belanda meremehkan kekuatan Diponegoro namun setelah mengalami kerugian besar akibat dari perang tersebut, belanda akhirnya menerapkan strategi Benteng Stelsel, yaitu strategi untuk membangun benteng-benteng kecil yang saling terhubung untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Selain itu, Belanda juga berusaha memecah belah kekuatan Diponegoro dengan menawarkan amnesti kepada para pengikutnya. Amesti sendiri adalah pengampunan atau  penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

Akhir Perang dan Dampaknya

Setelah lima tahun pertempuran sengit antara Pangeran Diponegoro dan Kolonial Belanda, pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap melalui tipu muslihat. Ia diundang untuk berunding di Magelang oleh Jenderal De Kock. Kemudian ia ditangkap dan diasingkan ke Manado. Setelah diasingkan, ia  dipindahkan ke Makassar sampai akhir hayatnya. Pangeran Diponegoro wafat  pada tanggal 8 Januari 1855, meninggalkan pasangannya, Raden Ayu Retnaningsih, istri-istrinya yang lain, serta anak-anaknya.

Peperangan in  menyebabkan kerugian besar di kedua belah pihak. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang tewas dari berbagai kalangan termasuk penduduk sipil. Perekonomian di Jawa pun menjadi terguncang, dan Belanda menghabiskan dana yang cukup besar untuk menumpas perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Walaupun berakhir dengan kekalahan, semangat perjuangan Diponegoro menginspirasi  generasi berikutnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Referensi

  1. Carey, P. B. R. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.
  2. Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia since c.1200. Stanford University Press.
  3. De Graaf, H. J., & Pigeaud, T. G. (1985). Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

 

Comments